Praktisi ISO Management System and Compliance. Blog tentang ISO 9001, SIO 14001, ISO 45001 dan ISO 45001 pada https://www.effiqiso.com/. Menulis Buku :Best Practice for Maintaining ISO 50001 Certification, \xd ISO 9001:2015 \x2013 A Practical Storytelling Guide for Newcomers, \xd Maintaining Mental Health in the Digital Era.
Dari Jakarta ke Pulau Pramuka: Anak-anak yang Sekolah Naik Ojek Laut
4 jam lalu
Pendidikan bukan privilese bagi yang tinggal di pusat kota. Ia adalah hak dasar yang harus dijamin negara — dari Sabang sampai Merauke.
Oleh Bambang RIYADI
Pukul 05.30 pagi. Belum ada cahaya di langit Jakarta. Di dermaga Kali Adem, Muara Angke, seorang bocah berusia 10 tahun duduk memeluk tas sekolah plastiknya, kepala nyaris terkulai di bahu ibunya. Ia baru bangun, mata masih sayu, tapi sudah harus menyeberang laut demi bisa mengikuti pelajaran di kelas.
“Kalau telat, ombak makin besar. Bahaya,” kata sang ibu, sambil menyerahkan uang Rp15 ribu kepada seorang nelayan — bayaran untuk “ojek laut” yang akan membawa anaknya ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Perjalanan itu memakan waktu 90 menit, bergoyang di atas perahu kayu kecil yang tahan angin dan ombak, tapi tidak dilengkapi pelampung atau alat komunikasi darurat. Tidak ada rambu jalan, tidak ada asuransi. Hanya kepercayaan pada sang nelayan, dan doa yang diam-diam dipanjatkan setiap pagi.
Untuk apa semua ini?
Hanya agar bisa sekolah.
Cerita yang Tersembunyi di Balik Garis Pantai
Di tengah gemerlap Jakarta, dengan gedung-gedung pencakar langit dan janji kemajuan digital, ada sebuah realitas yang jarang terlihat: anak-anak yang harus menyeberangi lautan demi hak dasar mereka — pendidikan.
Pulau Pramuka, pusat administrasi Kepulauan Seribu, memiliki satu sekolah dasar negeri (SDN 01 Pulau Pramuka) yang menjadi rujukan bagi anak-anak dari pulau-pulau kecil di sekitarnya: Pulau Pari, Pulau Tidung, bahkan Pulau Payung yang belum berpenduduk tetap.
Namun, karena keterbatasan fasilitas dan jumlah guru, tidak semua pulau punya sekolah lengkap. Akibatnya, anak-anak dari keluarga nelayan yang tinggal di pulau terpencil harus menyeberang setiap hari, atau lebih sering, tinggal di rumah saudara di Pulau Pramuka selama seminggu, tanpa orang tua.
“Saya tinggal di rumah Mbak Yati, penjual kerupuk. Dua bulan lalu, adik saya hampir tenggelam saat pulang naik perahu. Ombak tinggi, perahunya goyang,” kata Rian, siswa kelas 5 SD, dengan suara datar. Seolah-olah, bahaya adalah hal biasa.
Data yang Mengiris Hati
Berdasarkan data Dinas Pendidikan DKI Jakarta (2024), hanya 3 dari 11 pulau berpenghuni di Kepulauan Seribu yang memiliki satuan pendidikan SD/MI. Sisanya, seperti Pulau Ayer, Pulau Bidadari, dan Pulau Onrust, hanya memiliki PAUD atau tidak ada sama sekali.
Akibatnya:
- Lebih dari 60% siswa sekolah dasar di Pulau Pramuka bukan berasal dari pulau tersebut.
- Rata-rata siswa menempuh perjalanan 1–3 jam bolak-balik setiap hari — jika cuaca memungkinkan.
- 1 dari 5 siswa pernah absen lebih dari 10 hari dalam satu semester karena ombak tinggi atau kapal tidak beroperasi.
Padahal, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebut bahwa pendidikan wajib belajar 12 tahun harus tersedia secara merata, termasuk di daerah 3T (terluar, terdepan, tertinggal).
Tapi kenyataannya? Anak-anak di Kepulauan Seribu sedang bertaruh nyawa demi bisa membaca dan menulis.
Isu Hangat: Ketika Digitalisasi Maju, Akses Fisik Tertinggal
Saat pemerintah gencar mempromosikan Merdeka Belajar, kurikulum berbasis proyek, dan kelas digital, anak-anak di Pulau Pramuka masih berjuang dengan hal-hal dasar:
- Listrik yang padam 3–4 kali seminggu.
- Jaringan internet lambat atau tidak ada.
- Buku pelajaran yang rusak karena lembap.
- Guru yang datang seminggu sekali karena harus menyeberang dari daratan.
Dan ironinya, mereka diminta ikut penilaian berbasis komputer, padahal sekolah tidak punya laboratorium komputer yang layak.
“Kami pakai HP guru untuk simulasi ujian. Tapi kalau listrik mati, ya batal,” kata Pak Dedi, kepala sekolah SDN 01 Pulau Pramuka.
Sementara itu, di Jakarta, sekolah-sekolah swasta elite sudah menggunakan VR dan AI untuk pembelajaran. Ketimpangan ini bukan lagi soal kualitas. Ini soal kesetaraan akses.
Ojek Laut: Transportasi Tak Resmi, Tapi Satu-Satunya Harapan
“Ojek laut” bukan transportasi resmi. Tidak ada regulasi, tidak ada standar keselamatan, tidak ada subsidi. Tarif ditentukan oleh nelayan secara kasar: antara Rp10–20 ribu per anak, tergantung jarak dan kondisi laut.
Tidak semua orang tua mampu membayar. Beberapa anak terpaksa diantar sendiri oleh orang tua yang harus bolak-balik dari pekerjaan nelayan, sehingga mereka kehilangan waktu mencari ikan.
Ada usulan untuk membuat kapal sekolah gratis dari Pemprov DKI, seperti yang dilakukan di Danau Toba atau Kepulauan Riau. Tapi program itu belum terealisasi karena anggaran terbatas dan koordinasi antar SKPD yang lambat.
“Kami sudah ajukan dua kali. Katanya masuk prioritas, tapi sampai sekarang belum ada kapal,” ujar Lurah Pulau Pramuka.
Solusi Nyata yang Bisa Dimulai Sekarang
Krisis ini tidak membutuhkan solusi megah. Yang dibutuhkan adalah komitmen politik dan kebijakan yang turun ke lapangan:
-
Kapal Sekolah Berjadwal Tetap
Buat armada kecil milik Pemprov DKI yang beroperasi pagi dan sore, dengan pelampung, radio komunikasi, dan awak terlatih. -
Pusat Belajar Komunitas di Setiap Pulau
Bangun pos pendidikan sederhana di pulau-pulau kecil, diawaki oleh guru honorer lokal, dengan modul pembelajaran jarak jauh. -
Program Asrama Murid
Bangun asrama sederhana dekat sekolah di Pulau Pramuka, dengan makanan, pengawasan, dan dukungan psikososial. -
Integrasi dengan Program Nusantara Mengajar
Dorong relawan guru muda untuk mengabdi di Kepulauan Seribu minimal 1 tahun, dengan insentif dan akomodasi. -
Digitalisasi yang Realistis
Alih-alih fokus pada VR, prioritaskan jaringan internet stabil dan tablet tahan air untuk sekolah pesisir.
Penutup: Hak Pendidikan Tidak Boleh Tenggelam
Saat Jakarta macet, kita bicara MRT, LRT, dan integrasi transportasi. Saat listrik padam, kita soroti PLN dan infrastruktur nasional.
Tapi ketika seorang anak harus menyeberangi laut tiap pagi demi bisa belajar huruf A-B-C, kita diam.
Padahal, tidak ada perbedaan mendasar antara anak yang naik MRT ke sekolah dan anak yang naik ojek laut. Mereka sama-sama ingin punya masa depan. Mereka sama-sama warga negara Indonesia.
Kita tidak boleh membiarkan lokasi geografis menentukan nasib pendidikan.
Karena pendidikan bukan privilese bagi yang tinggal di pusat kota. Ia adalah hak dasar yang harus dijamin negara — dari Sabang sampai Merauke, dari daratan sampai pulau terluar.
Dan sampai kapal sekolah pertama berlayar dari Kali Adem ke Pulau Pramuka, Jakarta belum bisa menyebut dirinya sebagai kota yang adil.

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Krisis Air Bersih di Tengah Kota Megapolitan: Saat Jakarta Haus di Tengah Hujan
Kamis, 9 Oktober 2025 06:48 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler